DEPOK – Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai meninggalkan penggunaan air minum kemasan galon sekali pakai karena menyadari dampaknya terhadap lingkungan. Mereka mengaku kesulitan membuang galon bekas.
Saat ditemui di kampus, seorang mahasiswi UI bernama Vito mengaku menggunakan botol minum sekali pakai di asramanya. Namun mahasiswa hukum yang tinggal di sebuah wisma di kawasan Kukusan, Depok ini mengaku kesulitan membuang galon bekas setelah meminum air tersebut. Dia bilang dia menghabiskan satu galon setiap dua minggu. Scroll untuk mengetahui cerita selengkapnya, yuk!
“Ya, kadang saya bingung mau membuang galon sekali pakai ke mana. Karena galon itu juga tidak bisa terbuang. Akhirnya saya taruh di samping tempat sampah. Dan terkadang galon itu juga menghalangi jalan kita. katanya.
Melihat situasi yang tidak menyenangkan tersebut, ia tidak lagi terpikir untuk menggunakan air kemasan dan akan menggantinya dengan air yang dapat digunakan kembali dan tidak menimbulkan limbah.
“Saya juga berencana mengganti galon sekali pakai dengan galon yang bisa digunakan kembali, sehingga tidak terlalu boros,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Kamsa, mahasiswa bisnis Islam di UI yang tinggal di kampus Kukusan Teknik UI (Kutek) Depok. Ia mengaku saat ini menggunakan liter yang dapat digunakan kembali di wisma tersebut.
“Tapi dulu saya pakai galon sekali pakai. Lalu saya ganti ke galon bekas karena bingung mau membuang galon bekasnya,” ujarnya.
Begitu pula dengan Hariman, mahasiswa UI jurusan sistem informasi. Pria yang juga kos di kawasan Kutek UI ini mengaku kamarnya sempit akibat tumpukan liter sekali pakai.
“Saya sempat bingung mau membuangnya ke mana. Kalau dibuang ke tempat sampah, ukurannya terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam satu galon. Akhirnya saya tumpuk di kamar,” ujarnya.
Itu sebabnya pihaknya juga berencana mengganti galon sekali pakai dengan galon yang bebas limbah dan dapat digunakan kembali.
“Saya hanya ingin mengganti galon tersebut dengan galon bekas yang tidak perlu dibuang jika airnya habis. Kamar saya juga tidak penuh dengan galon bekas,” ujarnya.
Tak hanya mahasiswa UI, mahasiswa residensial IPB pun mengalami hal serupa. Bayu, mahasiswa kedokteran IPB, juga mengaku kesulitan membuang berliter-liter air minum sekali pakai ke tong sampah.
– Sampahnya tidak muat dan anak asrama membuangnya ke tempat sampah. “Hal ini membuat lingkungan wisma menjadi tidak nyaman,” kata pria yang tinggal di wisma di kawasan Cibanteng, Dramaga, Bogor.
Pihaknya juga berencana mengganti galon sekali pakai tersebut dengan galon yang lebih ramah lingkungan dan dapat digunakan kembali.
“Saya dan teman-teman kos ingin mengganti galon sekali pakai ini dengan galon yang bisa digunakan kembali agar tidak terbuang sia-sia,” ujarnya.
Senada dengan itu, Atika yang merupakan mahasiswa Manajemen Sumber Daya Air di IPB ini mengaku kesulitan membuang galon sekali pakai.
“Tempat sampahnya kurang karena galonnya terlalu besar,” kata mahasiswa kost di Cibanteng, Dramaga, Bogor itu.
Hal serupa juga diungkapkan oleh mahasiswa Geologi IPB, Resky, yang masih menjadi pengurus di wilayah Babakan Tengah; Hal serupa diungkapkan Nurma, mahasiswa jurusan manajemen, dan Rosela, mahasiswa jurusan peternakan yang juga menjabat sebagai pengurus Rumah Belajar. Mereka mengatakan ingin mengganti galon sekali pakai dengan galon yang bisa digunakan kembali. Menurut mereka, hal ini karena mereka tidak bingung membuang liter bekas.
Pra. Greenpeace Indonesia menilai produk galon sekali pakai justru bertentangan dengan semangat pengurangan sampah yang menjadi tujuan Indonesia untuk mengurangi 70 persen sampah di lautan pada tahun 2025.
Advokat Perkotaan Greenpeace Indonesia Muharrem Atha Rasyadi melihat keanehan ketika pemerintah mencoba fokus pada pengurangan sampah, khususnya sampah plastik, terdapat industri yang memperkenalkan produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah, seperti air minum dalam kemasan (produk AMDK) dan single. -pakai galon.
“Itu nama yang aneh,” katanya.
Menurut Atha, industri yang memproduksi galon sekali pakai sebaiknya tidak hanya melirik botol berbahan PET yang diklaim dapat didaur ulang dan merupakan salah satu jenis plastik yang banyak dicari pemulung, namun juga harus mencermati label dan tutupnya. yang menunjukkan potensi limbah.
“Jadi keberadaan produk AMDK satu galon ini bukanlah sebuah kemajuan yang baik dalam mengurangi sampah di Indonesia,” ujarnya.
Ia khawatir penggunaan kembali yang ramah lingkungan akan ditinggalkan jika masyarakat kemudian beralih ke wadah galon sekali pakai dan menjadi terbiasa dengannya.
“Saya membayangkan betapa besarnya potensi sampah di Indonesia. “Kita saja tidak punya galon sekali pakai, apalagi galon sekali pakai, sampahnya sudah banyak,” kata Atha.