Jakarta, ditphat.net – Baru-baru ini pemerintah mengusulkan agar Badan Kesehatan Masyarakat (BPJ) tidak mempertimbangkan kebiasaan merokok mulai tahun 2025. Hal ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia.
Permintaan tersebut diketahui datang dari Direktur Jenderal Badan Kesehatan Masyarakat (BPJS) Ali Ghafron Mukti. Ia mengusulkan agar rokok tidak dimasukkan dalam program jaminan kesehatan nasional.
Ia memperkirakan banyak peserta PBI yang merasa tidak setuju sebelum mereka sadar bahwa mereka sudah melanjutkan hidup. Bahkan, mereka memilih terus merokok dibandingkan membayar iuran.
“Banyak orang Indonesia (yang), ada Pbisnya 98,6 yang dianggap terlalu berlebihan,” kata Ghafron, Jumat.
Data BPJ kesehatan menunjukkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh rokok, seperti penyakit jantung, paru-paru, dan kanker tangan, memberikan beban yang sangat besar terhadap anggaran masyarakat. Bahkan dengan penyakit jantung, biaya BP mencapai 10 triliun setiap tahunnya.
Ghafron meyakini kebijakan tembakau ini akan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga pola hidup sehat. Hal ini dirancang untuk menciptakan sistem yang efisien dan berkelanjutan, dengan fokus pada pencegahan penyakit.
Kebijakan ini langsung menuai beragam opini dari masyarakat. Di media sosial, Natisini dengan bangga menyampaikan pendapatnya tentang BPjs yang tidak memasukkan penyakit akibat rokok.
“Mari kita berharap kebijakan ini untuk rakyat pekerja, bukan mereka yang menganggur,” tulis komentar Nenzian.
Komentarnya berbunyi: “Pak, ingatlah bahwa banyak orang yang bukan perokok akan terkena dampaknya. Jika Anda ingin mengusulkan penutupan industri tembakau, jika Anda berani.”
Pembicaraan netizen mengenai kebijakan ini diperkirakan pemerintah akan terus berlanjut hingga keputusan akhir diambil. Apakah langkah ini akan menurunkan jumlah perokok di Indonesia atau malah justru menimbulkan kontroversi baru?