JAKARTA, ditphat.net – Ahli gizi klinis Karin Wiradarma M.Gizi, SpGK memastikan air minum dari wadah galon polikarbonat tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Ia menyoroti rumor bahaya galon air minum yang dapat digunakan kembali akibat paparan bisphenol A (BPA):
Karin Wiradharma mengatakan melalui podcast di media sosial pada tanggal 19: “BPA sendiri memang berbahaya, tapi kalau terbuat dari plastik lebih aman karena dibuat lebih stabil melalui serangkaian proses.” Oktober 2024. Gulir untuk detail selengkapnya.
Ia menegaskan, air minum dari botol galon bekas masih sangat aman untuk diminum. Ia melanjutkan, meskipun BPA masuk ke dalam tubuh, 90% di antaranya dinetralkan di hati menjadi zat tidak aktif dan tidak berbahaya, yang kemudian dikeluarkan melalui urin atau feses.
“Nah, 10% lainnya yang aktif di dalam tubuh masih dalam kadar dan batasan aman menurut penelitian,” ujarnya.
Dokter lulusan universitas Indonesia ini mengungkapkan, BPA tidak hanya terdapat di galon saja. Ia mengatakan, zat tersebut juga ditemukan pada kemasan makanan dan minuman lainnya, termasuk kotak, kertas termal dan kertas cetak uang kertas, serta produk elektronik.
BPA merupakan prekursor yang digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat. Ia kemudian menjelaskan, dipilihnya BPA sebagai bahan pengemas pangan karena bentuknya yang transparan dan memiliki sifat seperti tahan panas, tahan asam, dan tahan minyak.
“Jadi BPA sangat bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari dan biasa digunakan dalam galon atau sebagai bahan wadah makanan dan minuman,” jelasnya.
Ia menyayangkan adanya masalah bias pada media lintas platform yang menyoroti penggunaan BPA dalam wadah galon. Menurut dia, persoalan seperti ini harus segera diperbaiki dan dihentikan agar masyarakat tidak stres dan kesal.
Dr Karin juga menghimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam mencerna informasi terkait BPA. Kami meminta masyarakat tidak menelan seluruh informasi yang diperoleh dari satu sumber dan lebih berhati-hati serta mengungkapkan kebenarannya.
“Kita harus berpegang teguh pada ilmu pengetahuan, mengkaji jurnal ilmiah dan tidak hanya menggunakan media sosial yang mempertanyakan sumbernya,” ujarnya merujuk pada buku Cara Memahami Informasi BPA yang Benar terbitan Primer Koperasi Dokter Indonesia. Persatuan (Primkop IDI).
Paparan BPA pada kemasan makanan diatur dengan Peraturan No. 20 Tahun 2019 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dr Karin mengatakan, paparan BPA saat ini masih di bawah batas yang ditetapkan BPOM, yakni 0,6 mg/kg.
“Jadi kalau kita beralih dari wadah ke makanan dan minuman dan melihat kandungan BPA di tubuhnya, kita masih jauh dari standar keamanan yang ditetapkan BPOM,” ujarnya.
Pakar dari IDI Institute, Dr. Aditiawarman Lubis, sebelumnya membantah BPA dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Ia menjelaskan, berbagai penelitian yang ada mengenai efek BPA terhadap kesehatan manusia masih belum dapat disimpulkan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Sebab, masyarakat diimbau tidak terpengaruh dengan ketidakjelasan informasi mengenai dampak BPA pada kemasan pangan. Ia meminta hadirin menyerahkan permasalahan tersebut kepada ahli di bidangnya terkait batasan keamanan dan standar kepatuhan produk kemasan yakni BPOM.
“Jika bukti ilmiahnya tidak cukup, lebih bijaksana mengambil kesimpulan dengan mempercayai lapangan,” ujarnya.