
JAKARTA, ditphat.net – Pada tahun 1964, Jakarta hampir menjadi area konflik karena ketegangan antara dua tali elit dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), RPKAD (sekarang Kopassus) dan KKO (sekarang Marinir).
Kejadian ini terjadi sebagai akibat dari kesalahpahaman sepele yang menyebabkan konfrontasi serius di Lapangan Bareteng, Jakarta Tengah. Kejadian ini membuat ibukota tegang.
Dalam buku Benny: Tragedi seorang loyalis Julius Pour, dikatakan bahwa konflik ini dimulai ketika pasukan KKO melakukan jalur Maret, sementara RPKAD berlatih mengendarai mobil di tempat yang sama. Itu tidak akrab dengan keamanan yang dimulai, tetapi ejekan antara pasukan mulai muncul dan hangat.
Kedua pihak yang merupakan pasukan TNI elit mulai menyalakan emosi. Puraps satu sama lain berada dalam lima puluh mentah. Ketika tabrakan terjadi di dekat markas KKO, pasukan mereka lebih dari RPKAD. RPKAD yang merasa bahwa sosok itu segera menghubungi rekan -rekan Cijantung untuk meminta bantuan.
Permintaan bantuan dari RPKAD tidak bermain game. Dalam waktu singkat, beberapa tentara datang dengan senjata penuh dengan truk. Kedua belah pihak mulai mempersiapkan senjata yang lebih berat, termasuk bayonet, senapan serangan dan bahkan Bazooka.
Situasi menjadi semakin kritis. Jalanan dari Kwini ke tendon, pusat Jakarta, berubah menjadi zona berbahaya. Orang -orang yang melihat acara ini terkena ketakutan. Mereka khawatir bahwa bentrokan antara pasukan elit akan mengarah ke senjata terbuka.
Di tengah -tengah ketegangan ini, Mayor Benny Moodani, yang pada waktu itu menjabat sebagai Batalion RPKAD I -baru saja kembali dari tenis di Senayan. Ketika dia melihat pawai sebuah truk yang penuh dengan tentara RPKAD yang sedang terburu -buru, dia curiga terhadap sesuatu yang salah. Tanpa membuang -buang waktu, dia mengejar konvoi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika dia tiba, Benny menemukan keadaan yang sangat tegang. Beberapa korban jatuh dari dua kamp. Ketika dia menyadari bahwa konflik ini akan segera dihentikan, Benny melakukan tindakan yang sangat berani. Dia masih mengenakan pakaian olahraga, dan tanpa mengenakan senjata, dia langsung pergi ke kamar tidur KKO di Jalan Kwini.
Ketika dia tiba di penjaga, Benny bertemu dengan kegembiraan. Lusinan anggota mantan anggota KKO Tjakrabirawa telah terlihat bertarung dengan senjata yang sudah dikuburkan. Seorang prajurit yang melayani di bawah komando Benny ketika operasi Tricora mengenali dan menyapa sosoknya. Benny meminta prajurit untuk menelepon bos mereka.
Tanpa diduga adalah bos yang keluar Mayor Saminu, teman lama Benny saat bertugas di Solo. Melalui diskusi singkat, Benny meminta pasukan KKO untuk tinggal di asrama sementara dia ingin mengendalikan pasukan RPKAD yang mengelilingi daerah itu.
Benny kemudian keluar dari kamar tidur KKO dan bertemu pasukan RPKAD yang siap bertarung. Tentara RPKAD semakin membuat berita palsu bahwa Benny ditangkap oleh KKO.
Mereka menyiapkan desas -desus bahwa bos ditangkap untuk menyerang. Namun, alih -alih pasukan KKO keluar, Benny yang muncul. Dengan suara besar, ia memerintahkan pasukan RPKAD untuk kembali ke markas.
‘Tanpa memedulikan. Jangan pernah pulang! Dia membentak.
Tentara RPKAD yang bingung akhirnya dipenuhi dan kembali ke truk. Mereka tidak menyadari bahwa pria yang hanya mengenakan celana pendek dan kemeja olahraga adalah kursus gerilya dalam operasi Tikora yang nantinya akan menjadi kepala Abri.
Berkat keberanian dan kepemimpinan Benny Moodani, tabrakan besar yang dapat menyebabkan tragedi berdarah dapat dihindari. Acara ini adalah bukti bagaimana komunikasi yang tepat dan konflik kepemimpinan dapat mencegah potensi untuk merusak unit di TNI.
Tabrakan antara Kopassus (RPKAD) dan Marinir (KKO) pada tahun 1964 adalah salah satu momen gelap dari sejarah TNI yang disebabkan oleh kesalahpahaman kecil yang berkembang menjadi perselisihan besar. Untungnya, kehadiran Mayor Benny Moodani berhasil mengurangi situasi sebelum menjadi tragedi.