Aceh, ditphat.net – Flower Aceh mengungkap sebuah lembaga swadaya masyarakat mulai menerima keluhan dari pelajar yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri atau self-harm. Pekerjaan ini merupakan bentuk pasrah karena tidak mempunyai kekuatan untuk menahan tekanan keluarga.
“Tahun ini, kami melihat subjek tindakan menyakiti diri sendiri sebagai sebuah teologi dari korban yang melakukan perbuatannya sendiri. “Dia merasa sakit fisik bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa sakitnya,” kata Riswati, Direktur Bunga Aceh, dilansir Antara, Kamis, 12 Desember 2024.
Menyakiti diri sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja untuk melukai diri sendiri, biasanya tanpa maksud untuk membunuh orang tersebut. Amalan ini sering digunakan seseorang untuk mengatasi atau mengalihkan perhatian dari perasaan sedih, cemas, dan kurang bahagia yang sulit diungkapkan.
Dalam salah satu kasusnya, Riswati menyatakan bahwa korban merasa tidak mampu menghadapi pertanyaan atau tekanan dari keluarganya mengenai masa depannya. Hal ini membuatnya melukai dirinya sendiri untuk memenuhi tanggung jawabnya.
“Menurut pengakuan korban, pekerjaan itu dilakukan setelah ia mendapat banyak pertanyaan tentang masa depannya, seperti dari anggota keluarga, karena tidak menyelesaikan studinya karena ada beberapa tantangan dari gurunya,” ujarnya. .
Flower Aceh mengatakan, bagi mereka yang pernah dianiaya dan dianiaya, menunjukkan bahwa korban mengungkapkan perasaannya dengan menyakiti diri sendiri. Fakta itu diketahui saat korban mendatangi konseling.
Sementara itu, Iyulen Pebry Zuanny, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry dan Psikolog Psychodista Consultants menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi self-harm, khususnya di kalangan pelajar.
Menurutnya, fenomena tersebut bisa bermula dari faktor internal seperti kepribadian, pesimisme, pengendalian diri yang buruk, moral yang rendah, kemampuan memecahkan masalah atau toleransi yang tidak tepat.
Kemudian rendahnya ketahanan terhadap stres atau tekanan dan riwayat kesehatan mental seperti depresi.
Faktor eksternal juga berperan dalam menciptakan perilaku tersebut, ujarnya. Seperti peraturan kampus, masalah keluarga, pola asuh orang tua, masalah keuangan, perundungan atau kekerasan di kampus, kurangnya support system, dan pengaruh negatif media sosial.
Tentu saja meniru atau meniru perilaku orang lain yang merugikan diri sendiri juga menjadi pemicunya, ujarnya.
Eulen menambahkan, setiap orang yang melakukan self-harm harus dievaluasi lebih lanjut untuk memahami lebih dalam penyebab perilaku tersebut pada setiap orang.
“Setiap orang mempunyai asal usul dan penyebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui penyebab terjadinya self-harm pada individu,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya berbagai metode untuk mencegah perilaku menyakiti diri sendiri mulai dari metode pencegahan, pengembangan, hingga pengobatan.
Dalam konteks pencegahan dan pembangunan, pendukung kesehatan mental harus memberikan pengetahuan psikologis tentang menjaga kesehatan mental dan mengelola emosi dan stres dengan tepat.
“Guru dan institusi pendidikan juga harus aktif memantau status kesehatan mental siswanya. Bahkan, institusi pendidikan bisa melakukan pemeriksaan kesehatan mental atau pemeriksaan rutin jika memungkinkan,” ujarnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa peran orang tua, anggota keluarga, teman, guru, dan seluruh civitas pendidikan penting dalam mendukung kesehatan mental siswa. Mulai dari memahami keadaan siswa, memfasilitasi perasaannya, membantu mereka mengembangkan diri ke arah yang lebih baik, pengetahuan dan karir.
“Penting bagi siswa untuk aktif agar potensinya dapat berkembang. Mereka harus melibatkan diri dalam kegiatan yang baik, dan harus melibatkan keterampilan seperti pemecahan masalah, coping, dan pengendalian emosi,” ujarnya.