
PEKALONAN, ditphat.net – Di tengah -tengah aliran globalisasi dan pengembangan cepat industri mode dunia, tantangan baru telah muncul untuk perancang potensial: bagaimana menciptakan karya yang tidak hanya mengikuti tren internasional, tetapi mampu menerima akar budaya lokal sebagai sumber inspirasi otentik dan berharga. University of Binus, melalui program Fashion and Life Technology, menanggapi tantangan ini dengan pendekatan yang unik, mendesak siswa untuk secara langsung menyelami kekayaan budaya program penurunan Indonesia di berbagai daerah yang merupakan pusat budaya dan kerajinan lokal.
Pada tahun 2025, tujuan yang dipilih adalah Pekalonan, sebuah kota di pantai utara pusat Jawa, yang telah lama dikenal sebagai salah satu ikon Bathics Indonesia. Lebih dari kunjungan, kegiatan ini dalam perjalanan belajar penuh, di mana siswa menjadi tidak hanya pengamat, tetapi juga aktor yang memimpin proses menjaga budaya.
Terintegrasi ke dalam denyut nadi budaya toko roti
Tiga hari, dari 12 hingga 14 April 2025, siswa diundang untuk menjelajahi pecalonagan dari sudut yang berbeda: sejarah, teknik, estetika, ke dalam kehidupan sosial rakyat mereka. Salah satu titik awal dari perjalanan adalah kunjungan ke Museum Batica Pekalongan, di mana mereka mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang akar dan filosofi Bathics sebagai warisan budaya non-pencetak yang diakui UNESCO.
Namun, pengalaman itu tidak berhenti di situ. Para siswa kemudian berpartisipasi dalam lokakarya Batik dengan pengrajin lokal, mencoba menciptakan motivasi mereka sendiri dan belajar secara langsung bagaimana membelai cerita dan identitas setiap malam.
Belajar dari industri fashion berdasarkan nilai
Sebagai bagian dari program perjalanan, siswa juga mengunjungi studio sampai mata dapat melihat, salah satu rumah mode yang dikenal karena pendekatan untuk mode berkelanjutan. Di sana mereka melihat proses produksi etis, penggunaan ramah lingkungan dan praktik upcichling dalam penciptaan pakaian modern, yang terus mempertahankan nilai -nilai sosial dan lingkungan.
Tidak hanya belajar teori, tetapi juga siswa berkomunikasi dengan pemain lokal di industri ini, kunjungi desa Kauman, yang padat dari nuansa tradisi, pergi ke pantai Sigandu, yang terinspirasi oleh alam, serta mengejar bahan tekstil langsung dari batik lokal. Semua ini memperkaya ide -ide siswa bahwa industri fashion tidak hanya masalah estetika, tetapi juga hubungan, lingkungan, dan identitas.
Asosiasi Akademisi, MPM dan Komunitas
Perendaman ini sepenuhnya sejalan dengan visi besar Universitas Binus untuk mempromosikan dan memberdayakan masyarakat. Kegiatan ini membuka ruang kerja sama yang nyata antara dunia akademik, MSP dan komunitas kerajinan lokal, sehingga proses pembelajaran tidak terjebak di kelas, tetapi benar -benar berhubungan dengan realitas sosial dan tantangan di lapangan.
Menurut Dicky Maryoga Hutadjulu, S. Sos., M.M, pembicara yang menyertainya dari Program Mode Binus, “Perjalanan ini bukan hanya masalah belajar teknik Batik, tetapi juga secara langsung merasakan dinamika masyarakat yang dilestarikan oleh Batik. Siswa dipanggil untuk memahami konteks sosial, ekonomi dan budaya.”
Dari proses ke panggung: Rayakan pekerjaan siswa
Jangan berhenti dalam pengalaman lapangan, hasil riset kreatif siswa akan dijelaskan dalam bentuk nyata: koleksi mode berdasarkan Batikani Batik. Pekerjaan terbaik dalam proyek ini harus ditampilkan dalam parade eksklusif yang diselenggarakan oleh University of Binus. Ini bukan hanya demonstrasi kreativitas, tetapi juga langkah profesional yang menguji kemampuan mereka untuk mengemas nilai -nilai lokal dalam konsep yang relevan untuk pasar global.
Menabur Cinta Budaya, Panen Inovasi Global
Berkat program semacam itu, University of Binus tidak hanya menawarkan siswa desain keterampilan teknis, tetapi juga membentuk mereka untuk menjadi desainer yang memiliki sensitivitas budaya, empati sosial dan visi inklusif dan berkelanjutan. Mereka siap menjadi preter kreatif muda yang mampu membawa kekayaan lokal ke kancah internasional, dengan gaya dan pendekatan kontemporer.
Lebih dari sekadar perjalanan, perjalanan tidak bermoral ini adalah proses transformasi. Di Pekalongan, siswa menemukan tidak hanya inspirasi, tetapi juga tanggung jawab: memelihara, mengembangkan dan mempromosikan warisan budaya Indonesia melalui karya -karya yang relevan, etis dan berlabuh.
Dan di belakang setiap bagian dari kain Batik yang membawa pulang, ia disimpan dalam antusiasme untuk terus menjahit masa depan mode Indonesia dengan benang nilai -nilai budaya yang abadi.