JAKARTA, ditphat.net – Dalam kehidupan berumah tangga antar umat manusia, tidak bisa dipungkiri kita sering kali mengalami pertengkaran atau pertengkaran. Perbedaan pendapat dianggap wajar, dan mereka akan meminta maaf jika berada dalam situasi tenang.
Terkadang, salah satu dari mereka memilih untuk memaafkan namun memutuskan untuk tidak menghubungi atau berkomunikasi lagi. Alasan dia melakukan ini adalah karena dia sakit parah. Lalu bagaimana Islam melihatnya? Bisakah orang memilih untuk tidak berinteraksi dengan orang lain karena hal tersebut? Scroll untuk mengetahui informasi selengkapnya, yuk!
Rupanya, pendakwah Ustad A. Hilman Fawzi mengizinkannya. Mengapa?
“Bolehkah aku memaafkannya tapi tak mau menghubunginya lagi? Apakah itu hanya berarti ‘Aku cukup tahu’ atau tidak? (Jawabannya) Tidak apa-apa,” unggahnya di Instagram @rumpi_gosiip dalam sebuah video klip. , dikutip Senin 4 November 2024.
Ustaz A. Hilman Fawzi juga mengatakan, tindakan yang dipilih masyarakat tidak bisa dianggap sebagai putusnya silaturahmi atau silaturahmi antar manusia. Ia mengatakan, tindakan ini dilakukan untuk berhenti membenci orang yang mengidap penyakit tersebut.
“Ingat, jangan menganggap pembicaraan dengannya dekat, berarti kalian sudah memutuskan hubungan. Tidak, tidak, orang yang memutuskan untuk berbicara dengan orang yang menyakitinya, Dia melakukannya untuk membersihkan hatinya agar dia tidak membenci orang-orang yang menyakitinya,” ujarnya.
Lanjutnya, masyarakat memilih untuk tidak lagi berinteraksi dengan orang yang telah merugikannya sebagai bentuk pembelaan. Dia menahan diri untuk tidak membenci pria itu.
“Logikanya, kalau ada yang menyakiti kita, kita benci diri kita sendiri kan? Jadi kita hentikan diri kita untuk berinteraksi dengannya agar tidak membenci diri kita sendiri. ‘Aku menyakitimu besok.’ Sudah, jangan dibuka lagi, hatiku. ‘ sudah sakit.’ Diblokir, “Kalau mau diblokir, blokir. Putuskan apakah Anda ingin memutuskan sambungan. Beracun,” lanjutnya.