Magis di Tengah Eksistensi yang Semakin Terkikis

ditphat.net – “Medali Insun Insun Madangan” disembah oleh Raja Sumedang Prabu Tajimalela pada abad ke-10 Masehi. Ungkapan “Aku lahir, Aku tercerahkan” yang dimiliki raja kini menjadi sumber kekuatan intelektual.

Kepemimpinan transformasional Prabu Tajimalela telah menginspirasi seluruh lapisan Kerajaan dalam hal pengetahuan dan pendidikan. Melanjutkan perjalanan waktu dari Kerajaan Sunda, pada tahun 1579 kerajaan Sunda Pakun, Pachajaran diserang oleh kerajaan Batin.

Akibat penyerangan tersebut, para petinggi Kerajaan Sunda menyelamatkan Binokasih Sangiyang Pake dan menyerahkannya kepada Prabu Geusan Ulun di Kerajaan Sumedang Larang.

Hal ini merupakan penegasan perpindahan kedudukan sentral Kerajaan Sunda ke Kerajaan Sumedan Larang. Generasi sejak sebelum serah terima mahkota Sumedang Larang tak henti-hentinya memiliki “tokoh” yang disegani dan disegani.

Dari dinasti tersebut, dari Prabu Tajimalela hingga kiri, peristiwa itu diterbangkan ke Belanda oleh Pangeran Kusumahdina IX atau dikenal dengan Pangeran Cornell.

Ratusan tahun kemudian, mahkota Binokasih Sanghyang Pake beserta tujuh peninggalan Kerajaan Sumedang Larang kini disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.

Mahkota dan pusaka dibersihkan secara berkala oleh Keraton Sumedang Larang dengan prosedur serah terima dari pejabat keraton sebelumnya.

Upacara pembersihan pusaka yang dikenal dengan Jamasan dilakukan setiap menjelang Maulid Nabi Muhammad SWT, diawali dengan prosesi dan upacara pusaka.

Suasana kerohanian dirayakan secara khidmat pada malam hari melalui prosesi nyuguh dangang, kemudian peninggalan dilakukan pada pagi hari, Festival, jamasan dan terakhir penyerahan peninggalan dilaksanakan di gedung peninggalan pada sore hari.

Dimana keseluruhan proses tersebut telah melahirkan benda-benda magis personal yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui cermin pintar komunitas Foto Semut (KSF) dan komunitas lainnya.

Aroma tradisi budaya yang kuat dipadukan dengan Islam yang kuat melahirkan nilai-nilai luhur kebangsaan yang dapat memperkokoh persatuan bangsa Indonesia dalam perjalanan mencapai tujuan bersama Indonesia Emas 2045. 

Namun sayang, Keraton Sumedang Larang yang merupakan lembaga yang mengedepankan nilai magis dan budaya kini semakin terpuruk. Perkembangan teknologi modern dan globalisasi menjadi penyebab hilangnya eksistensi Sumedang Larang beserta budaya dan sejarahnya.

Hancurnya eksistensi lembaga-lembaga penjagaan budaya dan nilai-nilai luhur serta sejarah dapat membawa suatu generasi pada krisis jati diri yang berujung pada krisis karakter, hanya akan melahirkan generasi tanpa prinsip, krisis moralitas dan perilaku individu yang tidak berperikemanusiaan. Matinya kebudayaan yang menjadi akar persatuan bangsa.    

Sebagai pusat kebudayaan Sunda, pemerintah setempat telah mendukung penguatan eksistensi Keraton Sumedang Larang melalui Peraturan Daerah Sumedang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebudayaan Sunda Sumedang Puseur.

Dukungan tersebut merupakan dorongan yang baik dari sektor publik, namun dalam menjaga seluruh nilai-nilai luhur diperlukan komitmen dan kejujuran.

Tidak hanya dari Sri Radya, Radya Anom, Mahapatih, Penatha dan seluruh elemen Keraton Sumedang Larang, namun juga dari seluruh dunia seperti komunitas budaya, organisasi kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan adat, organisasi kemasyarakatan dan tentunya generasi muda pada umumnya. Ragam Sumedang Larang yang akan menjadi bahan bakar keberlangsungan Keraton Sumedang Larang beserta budaya dan sejarahnya.

Keberadaan Keraton Sumedang Larang dan sejarahnya bukan hanya tanggung jawab unsur Karaton saja, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah Hari Kemerdekaan Indonesia.

Namun menjelang hari ulang tahunnya tanggal 28 Oktober 1928, seluruh kalangan bangsa, mulai dari pemuda pemudi hingga wakil Kerajaan Indonesia bersatu dalam perjuangan Bangsa Indonesia dengan mendeklarasikan darah satu bangsa, satu bahasa. Merupakan tanah air, kebangsaan dan bahasa Indonesia, maka lahirlah Indonesia.

Sebagai bagian dari peran sertanya dalam berbangsa dan bernegara, seluruh elemen masyarakat diharapkan mampu berperan sebagai penjaga tradisi budaya lokal yang merupakan akar kebudayaan negara. Jika akarnya sehat, maka batangnya akan tumbuh subur, kuat dan bertenaga. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan tradisi budaya tersebut? Kami. Kita adalah generasi muda Indonesia.

“Artikel ini saya persembahkan untuk Sri Radya H.R.I Lukman Soemadisoeria, Radya Anom Rd. Luky Djohari Soemawilaga, Mahapatih Rd.”

By ditphat

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *