Takalar, ditphat.net – Nuryanti, guru yang bekerja selama tujuh tahun di SDN no. 95 Campagaya, Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat membicarakan kondisi sekolah tempatnya mengajar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman kini hanya tinggal penderitaan akibat kerugian besar dan sengketa lahan yang tak berkesudahan.
“Kami telah hidup dalam kondisi seperti itu selama tiga tahun. “Kami sangat berharap pemerintah segera memberikan perhatian terhadap sekolah ini, terutama dalam hal pembebasan lahan,” kata Nuryanti, Rabu (15/1/2025).
Menurut Nuryanti, permasalahan utama yang menghambat kemajuan sekolah tersebut adalah sengketa lahan. Ahli waris yang mengaku memiliki tanah tersebut meminta agar tanah tersebut dikosongkan terlebih dahulu sebelum dilakukan perbaikan.
“Sampai saat ini belum ada kejelasan penyelesaian perselisihan tersebut, sehingga kami – baik guru maupun siswa – terpaksa hidup dalam kondisi yang sangat meresahkan,” jelasnya.
Nuryanti mengatakan, siswa harus belajar di tenda yang hanya ditopang rangka kayu. Saat hujan, air merembes ke dalam ruangan, merendam meja dan bahan pembelajaran, sehingga memaksa siswa berkumpul di ruangan lain atau belajar di teras.
“Langit-langit kelas runtuh, dinding retak, dan hanya dua dari enam ruang kelas yang dapat digunakan. Bahkan, siswa sering belajar di masjid depan sekolah saat hujan deras, tambahnya.
Kerusakan parah ini juga berdampak pada jumlah siswa. Sekolah ini dulunya menerima 28 hingga 30 siswa baru setiap tahunnya, namun kini jumlah tersebut menurun drastis menjadi 12 siswa.
“Para orang tua khawatir anaknya tidak bisa belajar dengan nyaman di sekolah tersebut sehingga memilih sekolah lain yang kondisinya lebih baik,” kata Nuryanti.
Kayla, siswa kelas 6 SDN 95 Campagaya, juga merasakan kesedihan serupa. Ia bercerita, sejak kelas 3 SD, ia dan teman-temannya harus belajar dalam kondisi terbatas.
“Atapnya bocor, temboknya retak, kami sering belajar secara bergiliran atau di masjid. “Saya berharap sekolah ini segera direnovasi agar kita bisa belajar dengan tenang,” ucap Kayla sambil berlinang air mata.
Dari 135 siswa di sekolah ini, hanya ada tujuh guru, satu operator, dan satu kepala sekolah. Meski fasilitasnya sangat terbatas, namun mereka tetap berusaha memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak.
“Kami hanya ingin anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak di sini. Mereka adalah masa depan bangsa. Namun dengan kondisi seperti ini, kami merasa tidak tahu harus berbuat apa lagi, kata Nuryanti penuh harap.
Guru dan siswa SDN 95 Campagaya meminta pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan dan merenovasi sekolah tersebut. Mereka menekankan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak dan sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar.
“Anak-anak ini tidak meminta apa pun lagi. Mereka hanya ingin belajar. Tolong selamatkan masa depan mereka. “Jangan sampai mereka melanjutkan studi dalam kondisi seperti itu,” tutup Nuryanti sambil berlinang air mata. (Idris Tajannang/tvOne/Takalar)