Anemia, Musuh Senyap yang Mengintai Kesehatan Perempuan

Jakarta, ditphat.net –  Anemia defisiensi besi masih menjadi masalah kesehatan yang mendesak tidak hanya di dunia tetapi juga di Indonesia. Permasalahan ini sudah berlangsung lama, terutama pada anak-anak yang merupakan kelompok usia paling rentan. Anak-anak di bawah usia lima tahun mempunyai angka kejadian anemia defisiensi besi tertinggi sehingga menjadikan mereka prioritas utama dalam upaya pencegahan kondisi tersebut.

Namun hal ini menjadi peringatan serius bagi semua pihak. Jika tidak ditangani dengan baik, anemia defisiensi besi dapat berdampak buruk pada kesehatan anak di masa depan dan menghambat perkembangan fisik dan mentalnya. Hal tersebut dapat menghambat tujuan besar Indonesia dalam mencapai impian Indonesia Emas 2045.

“Yang namanya anemia, khususnya anemia defisiensi besi, ternyata sudah menjadi penyakit klasik sebelum Indonesia merdeka. “Tapi kenapa sampai sekarang belum diperbaiki,” kata dr. Dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Direktur Ilmu Kedokteran Danone Indonesia.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi tidak hanya menjadi masalah kesehatan, namun juga menjadi tantangan bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Kekurangan zat besi tidak hanya berdampak pada penampilan fisik anak, tapi juga perkembangan otaknya.

“Nah, ini yang paling penting dalam perkembangan otak. Ada dua, nutrisi dan stimulasi. “Nah, motivasinya dua arah, jadi jangan satu arah,” jelas dr Rini Sekartini, dokter spesialis anak spesialis perkembangan sosial anak.

Tak hanya menyerang anak-anak, anemia defisiensi besi juga berdampak jangka panjang pada rentang hidup perempuan. Menurut Dr. Dr. Rima Iwinda, Sp.OG, Subsp. KFM, fetomaternal obstetric, anemia yang dialami ibu hamil dapat menimbulkan risiko serius bagi ibu dan janin yang dikandungnya.

“Kalau kita lihat dari siklus hidup seorang wanita yang mengalami anemia, pada saat hamil dapat menyebabkan anemia pada anak yang dilahirkannya. Ketika anak tersebut bisa menjadi remaja yang juga menderita anemia, maka ia akan menjadi dewasa nanti, dan jika anak lahir perempuan, jadi apa akibatnya? Kalau anemia terjadi saat hamil, ada dua risiko bagi ibu, yaitu preeklampsia dan perdarahan fosfat, risiko pada janin terhambat, “a dia menjelaskan.

Upaya pencegahan anemia defisiensi besi telah dilakukan pemerintah melalui program penyediaan tablet suplemen darah. Namun tanpa pelatihan yang memadai, program ini tidak akan berjalan maksimal.

“Ketika kita memberikan tablet suplemen darah, atau nanti Kementerian Kesehatan mengubahnya menjadi MMS, penting untuk memberikan edukasi tentang fungsi tablet tersebut,” kata dr. Dr. Rima Irwinda.

Ia juga mengatakan, edukasi harus dilakukan dengan cara yang benar agar masyarakat memahami manfaat nyata dari tablet tersebut. “Karena kalau kita tidak beritahu fungsinya, mereka tidak akan meminum obatnya. Mungkin mereka mengira, tensi saya normal, kalau saya minum pil tensi, berarti tidak ada hubungan antara tensi dan pil tensi darah. .. Jadi yang bisa dididik tentang hal itu, menurut saya, adalah dengan memberi tahu masyarakat bahwa hal itu mencegah berat badan lahir rendah atau stunting.

Mengatasi anemia defisiensi besi memerlukan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan hingga masyarakat. Selain pemberian tablet suplemen darah, fokus pada asupan gizi seimbang dan meningkatkan motivasi anak juga menjadi langkah penting.

Dengan edukasi yang tepat dan intervensi gizi yang optimal, diharapkan Indonesia mampu menurunkan angka anemia defisiensi besi. Hal ini tidak hanya demi kesehatan generasi muda, tetapi juga demi masa depan bangsa yang lebih cerah menuju Indonesia emas tahun 2045.

By ditphat

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *