New York, ditphat.net – Penggunaan Artificial Intelligence (AI) akan meningkat drastis di banyak bidang kehidupan, termasuk dalam menangani kesedihan dan kehilangan.
Namun, pertanyaan etika yang serius muncul ketika AI digunakan untuk meniru orang mati, hingga “merencanakan” masa depan mereka setelah kematian, seperti surga atau neraka. Kisah Christi Angel, perempuan asal New York, Amerika Serikat (AS) jelas menggarisbawahi permasalahan tersebut.
Christi Angel (47) berusaha mengatasi kekurangan pasangannya, Kamerun, dengan berbicara kepada chatbot yang meniru karakter Kamerun.
Chatbot ini merupakan bagian dari platform bernama Project December yang dibuat oleh pengembang video game Jason Rohrer. Dengan chatbot ini, pengguna dapat mengisi detail orang yang sudah meninggal, seperti nama panggilan, karakter, dan latar belakang, untuk membuat “replika digital”.
Di awal perbincangan, Angel merasa kejadian ini aneh tapi nyata, seperti di Kamerun.
Namun, hal ini berubah ketika chatbot yang berpura-pura menjadi Kamerun mengatakan dia berada di neraka. Bagi Angel, seorang Kristen yang taat, kabar tersebut mengejutkan dan sangat meresahkan.
Dia menggunakan layanan tersebut lagi untuk mencari konfirmasi dan merasa lega ketika chatbot tersebut “mengoreksi dirinya sendiri” dan mengatakan bahwa Kamerun tidak berada di neraka.
Kisah Angel menyoroti dilema etika dalam penggunaan AI untuk menyamar sebagai orang mati. Apakah benar atau bermoral jika AI “meramalkan” masa depan seseorang di kehidupan selanjutnya?
Jason Rohrer, pencipta The December Project, menolak tuduhan bahwa platformnya adalah bentuk “kapitalisme kematian”. Namun, penggunaan AI untuk tujuan ini menimbulkan banyak pertanyaan etis.
Sherry Turkle, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology yang mempelajari interaksi manusia dengan teknologi, memperingatkan bahwa AI dapat mempersulit proses puasa.
“Ini bukan tangisan,” kata Turkle seperti dikutip The Guardian, mengacu pada penggunaan AI untuk “menghidupkan kembali” orang mati.
Menurutnya, teknologi ini bisa membuat orang sulit untuk benar-benar melepaskan seseorang.
Selain Proyek Desember, ada platform lain seperti YOV (“You, Only True”) yang memungkinkan orang membuat “versonas” untuk diri mereka sendiri atau orang lain setelah kematian mereka.
Pendiri YOV Justin Harrison bahkan membuat versi ibunya sebelum dia meninggal. Meskipun Harrison merasa bahwa teknologi ini memenuhi kebutuhan umat manusia untuk tetap berhubungan dengan orang mati, hal ini masih menimbulkan pertanyaan etika yang serius.
Dalam konteks ini, para ahli hukum dan etika mulai mempertanyakan praktik dan hukum penggunaan teknologi AI.
Andrew Wilson-Bushell, seorang pengacara di Inggris, mengatakan bahwa undang-undang yang berkaitan dengan hak cipta dan kekayaan intelektual bersifat kompleks dan berbeda-beda di setiap negara.
Namun, ia juga menegaskan bahwa persoalan budaya dan sosial bisa didahulukan sebelum persoalan hukum.
Penggunaan AI untuk mensimulasikan orang mati, apalagi “merencanakan” nasibnya di akhirat, merupakan isu yang kompleks dan kontroversial.
Meskipun informasi ini mungkin menghibur sebagian orang yang berduka, penting untuk mempertimbangkan banyak faktor budaya dan emosional. Seiring berkembangnya teknologi ini, pembahasan mengenai peraturan dan pedoman etika menjadi sangat penting.