Jakarta, ditphat.net – Pernyataan yang dianggap seksis dan anti-feminis bersifat individual berdasarkan gender; terutama merendahkan perempuan; bahasa yang diskriminatif atau menghina; adalah bentuk komunikasi tertulis atau perilaku.
Sikap seksis cenderung menempatkan perempuan di bawah laki-laki, dan kelompok anti-feminis menolak atau menentang kebijakan kesetaraan gender.
Contoh pernyataan yang termasuk dalam kategori ini antara lain komentar yang meremehkan kemampuan perempuan; Mungkin stereotip seksis yang membatasi peran perempuan atau bahkan lelucon yang menentang tubuh perempuan.
Pernyataan seperti itu tidak hanya mencerminkan pandangan pribadi yang merugikan, namun berpotensi memperkuat ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di masyarakat.
Pegawai negeri sipil mempunyai tanggung jawab etis yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai figur publik, hendaknya menjaga profesionalisme dan imparsialitas serta menghindari pernyataan-pernyataan yang dapat merugikan kelompok tertentu, termasuk perempuan.
Mematuhi standar etika ini penting karena tindakan dan perkataan mereka mempunyai pengaruh besar terhadap persepsi masyarakat.
Pernyataan pejabat negara, tanpa kecuali, merupakan martabat individu. Keadilan harus mencerminkan nilai-nilai kesetaraan dan rasa hormat; Oleh karena itu, mereka tidak boleh mengeluarkan pernyataan seksis atau anti-feminis.
Dalam konteks hukum di Indonesia, Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi dan Transfer Elektronik (UU ITE) menyebarkan informasi elektronik yang bersifat menyinggung dan/atau menyinggung siapapun; Sengaja dilarang tanpa pengiriman atau hak akses. . Isi.
Misalnya, Pernyataan seksis dan anti-feminis yang diposting di media sosial oleh pejabat negara dapat dianggap sebagai pelanggaran pasal ini karena dapat merugikan reputasi individu atau kelompok berdasarkan gendernya.
Oleh karena itu, penting bagi pejabat negara untuk selalu berhati-hati dalam menyampaikan pendapat atau pandangan di ruang publik.